woensdag 18 oktober 2017

Surinaamse ambassade in Jakarta moet twee ontslagen ex-medewerksters betalen

Het Hooggerechtshof in Jakarta
Werkneemsters hadden conform Indonesische wetgeving doorbetaald moeten worden


De Ware Tijd meldt vandaag, woensdag 18 oktober  2017, dat de Surinaamse ambassade in Indonesië door het Hooggerechtshof in Jakarta is veroordeeld tot betaling van een forse schadeloosstelling aan twee voormalige medewerksters. Een lagere rechtbank had Suriname vorig jaar al veroordeeld, maar tegen dat vonnis werd hoger beroep aangetekend. De twee vrouwen werden in 2014 ontslagen, maar het rechtscollege heeft bepaald dat hun ontslag onrechtmatig is. 

Maria Setiawan was acht jaar in dienst van de diplomatieke post toen ze werd ontslagen en Ekasari Anggraini elf jaar. Het ontslag was niet gestoeld op de Indonesische Arbeidswet aangezien er geen sprake was van een geschil.

Naar verluidt is de ambassade door het Indonesische ministerie van Arbeid erop gewezen, dat buiten de wet was gehandeld en dat de werkneemsters volgens de Indonesische wetgeving doorbetaald moesten worden. Suriname heeft de kennisgeving naast zich neergelegd, waarna een rechtszaak tegen de diplomatieke post werd aangespannen.

Op 31 maart vorig jaar vonniste het Arbeidsgeschillenhof (IRC) in Jakarta, dat Suriname 237 miljoen roepia (14.143 Amerikaanse dollar) moest betalen aan Setiawan en 237 miljoen roepia (17.550 Amerikaanse dollar) aan Anggraini. Het Hooggerechtshof bepaalde de schadevergoeding voor Setiawan op 174 miljoen roepia (12.884 Amerikaanse dollar) en voor haar collega op 216 miljoen roepia (15.994 dollar). Suriname betwistte het vonnis van het IRC in 2016 en ging in hoger beroep.



Volgens de ambassade is zij geen normale werkgever zoals bedoeld in de Arbeidswetgeving van Indonesië. Gesteld werd, dat de ambassade als vertegenwoordiger van een soeverein land opereert op basis van het Verdrag van Wenen. Derhalve zou zij aanspraak maken op diplomatieke onschendbaarheid en niet voor de rechter gedaagd mogen worden. De ambassade zou slechts onderworpen zijn aan de nationale wetgeving van Suriname.

Zowel het Arbeidsgeschillenhof als het Hooggerechtshof verwierp het verweer dat gebaseerd was op diplomatieke immuniteit. De betrekkingen tussen de ambassade en haar lokale medewerkers werden door beide rechtbanken getypeerd als een civielrechtelijke overeenkomst.

De Ware Tijd schrijft vernomen te hebben, dat aan het advocatenkantoor, dat namens Suriname optrad, ongeveer 111.000 Amerikaanse  dollar moet worden betaald.

Dit berichtte 13 april 2016 de Indonesische nieuwswebsite Kontan over de rechtszaak (http://nasional.kontan.co.id/news/kedutaan-suriname-digugat-dua-eks-karyawan):


Kedutaan Suriname digugat dua eks karyawan





Kedutaan Suriname digugat dua eks karyawan

JAKARTA. Kedutaan Republik Suriname diputus harus membayar pesangon kepada dua eks karyawannya Maria Itania Setiawan dan Anggreini Ekasari. Hal itu sejalan dengan gugatan yang diajukan keduanya di Pengadilan Hubungan Industrial Jakarta Pusat diterima majelis hakim.

Kuasa hukum kedua penggugat Sholeh Ali mengatakan, dalam perkara ini kedutaan Republik Suriname harus membayar hak kliennya setelah adanya pemutusan hubungan kerja pada tahun lalu. "Ya, perkara ini sudah diputus pada 31 Maret 2016 lalu," ungkap dia saat dihubungi KONTAN, Rabu (13/4).

Adapun saat itu, majelis hakim yang diketuai Partahi Tulus Hutapea memutus untuk mengabulkan gugatan para penggugat untu sebagian. Serta menyatakan, Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) para penggugat terhitung sejak 11 Februari 2015.

Sehingga, menghukum tergugat untuk membayar kepada masing-masing para tergugat berupa uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, uang penggantian hak, uang proses PHK, dan kekurangan upah bulan April 2014.

Dimana, untuk Maria Itania Setiawan jumlah yang harus dibayarkan sebesar Rp 192,4 juta dan kepada Anggraeni Ekasari sebesar Rp 237,27 juta. Menanggapi hal tersebut, Sholeh menghormati putusan hakim.

Menurutnya putusan tersebut sudah tepat. Pasalnya, sejak pergantian duta besar Suriname, Amina Pardi kliennya sudah tak mendapatkan hak-haknya sebagai pekerja tanpa alasan. "Padahal saat masa Angelic Caroline sebagai duta besar lancar-lancar saja," tambah Sholeh.

Pihaknya juga mengaku siap jika nantinya pihak Kedutaan Suriname ingin menempuh upaya hukum Kasasi. Sementara itu, kuasa hukum Kedutaan Suriname Indrawan enggan berkomentar kepada wartawan. "Tak ada komentar," ungkap dia singkat saat dihubungi KONTAN.

Sekadar tahu, kedua penggugat ini merupakan sekertaris di Kedutaan Suriname. Dimana, keduanya sudah bekerja di Kedutaan sejak 2006. Pada awal tahun bekerja hingga tahun 2011 semua pembayaran hak-hak perkerja dibayar dengan lancar.

Namun ketika adanya pergantian duta besar Suriname dari era Angelic Caroline kepada Amina Pardi pada 2014, keduanya mengaku pembayaran hak pekerjanya itu sudah tak dibayarkan tanpa alasan. Adapun hak-haknya itu diantaranya meliputi tunjangan kesehatan, kenaikan gaji yang dijanjikan dan perpanjangan kontrak kerja.

Lantaran haknya tak terbayarkan, maka kedua penggugat melayangkan surat kepada Kedutaan Suriname dengan tembusan ke Kementerian Luar Negeri. Bukan pembayaran yang didapat, keduanya malah dianggap melakukan pencemaran nama baik.

Sebelum mengajukan gugatan di Pengadilan Hubungan Industrial Sholeh bilang, pihak para penggugat telah menempuh proses mediasi baik biparit maupun triparit di Suku Dinas Tenaga Kerja Jakarta Selatan (Sudinakertrans). Namun tidak ada kesepakatan penyelesaian dan kemudian dikeluarkan anjuran oleh Sudinakertrans pada 16 September 2014.

Bahwa dengan anjuran yang tidak dijalankan oleh pihak Kedutaan, maka para penggugat memilih untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada 29 November 2015.
"Atas putusan hakim ini juga sekaligus sebagai bukti kalau klien kami memng tidak melalulan pencemaran nama baik," tutup Sholeh.

(Suriname Mirror/de Ware Tijd/Kontan/Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia/Scribd Suriname Mirror)

Geen opmerkingen:

Een reactie posten